Siapa yang Membayar Pecalang, Petugas Keamanan di Bali?

Siapa yang Membayar – Pecalang. Nama ini terdengar sakral, eksotis, dan penuh nuansa kearifan lokal. Di tengah gegap gempita pariwisata Bali, keberadaan mereka menjadi pemandangan lazim. Berpakaian adat lengkap—ikat kepala, kain hitam putih kotak-kotak, dan sabuk tradisional—mereka berdiri tegas di perempatan jalan, mengatur lalu lintas saat upacara adat, bahkan terlibat dalam pengamanan saat Nyepi. Tapi di balik aura kultural yang kuat, muncul satu pertanyaan yang jarang di bahas secara terbuka: siapa sebenarnya yang membayar pecalang?

Tidak Digaji Negara, Tapi Tetap Bekerja?

Pecalang bukanlah bagian dari aparat negara. Mereka bukan polisi, bukan Satpol PP, dan tentu bukan tentara. Mereka berasal dari banjar, sistem komunitas tradisional Bali yang mengatur urusan sosial dan budaya. Artinya, mereka adalah bagian dari masyarakat sipil, namun bertugas seolah-olah memiliki otoritas formal. Jadi, dari mana sumber pendapatan mereka?

Baca juga : 6 Tempat Gaul di IKN yang Wajib Dikunjungi

Realitanya, sebagian besar pecalang tidak menerima gaji tetap. Tugas mereka di anggap sebagai bentuk pengabdian atau yadnya kepada masyarakat. Istilah yang terdengar mulia, namun jika ditelusuri lebih jauh, sistem ini menyisakan banyak tanya. Apakah semua orang mampu mengabdi tanpa di bayar? Apakah tidak ada tekanan sosial untuk tetap bertugas meskipun kebutuhan ekonomi menjerat?

Anggaran Desa Adat: Transparansi yang Dipertanyakan

Meski tak di gaji negara secara langsung, pecalang bisa mendapatkan insentif dari anggaran desa adat. Nah, di sinilah cerita menjadi menarik. Desa adat di Bali memiliki kewenangan mengelola dana desa, bahkan ada alokasi khusus dari pemerintah provinsi maupun kabupaten untuk mendukung kegiatan adat, termasuk pengamanan oleh pecalang. Tapi… seberapa transparan aliran dana ini?

Tidak sedikit suara sumbang yang mempertanyakan apakah dana yang di alokasikan benar-benar sampai ke tangan pecalang. Beberapa laporan menyebutkan adanya ketimpangan antara kerja keras yang mereka lakukan dengan kompensasi yang di terima. Di sisi lain, tidak ada standar honor yang seragam, karena setiap desa adat memiliki kebijakan masing-masing. Maka jangan heran jika pecalang di satu wilayah bisa mendapat uang saku rutin, sementara di wilayah lain hanya menerima ucapan terima kasih.

Politik di Balik Kain Kotak-Kotak

Yang lebih menggigit, ada dugaan bahwa pecalang kerap di jadikan alat politik oleh elite adat atau bahkan tokoh-tokoh yang punya ambisi kekuasaan. Mereka yang seharusnya netral dan menjaga keamanan, justru bisa di politisasi. Pengaruh adat sangat kuat di Bali, dan siapa yang mengendalikan adat, bisa mengendalikan masyarakat. Dalam konteks ini, keberadaan pecalang menjadi pedang bermata dua—bisa menjadi penjaga harmoni atau alat represi.

Antara Pengabdian dan Eksploitasi

Bayangkan bekerja menjaga keamanan dalam cuaca panas terik atau larut malam tanpa kejelasan upah. Di sebut “pengabdian,” tapi jika sistemnya terus seperti ini, apakah itu benar-benar pengabdian atau justru eksploitasi yang di bungkus nilai adat? Pecalang adalah wajah Bali yang sopan dan santun, tapi di balik senyum mereka, bisa jadi tersimpan lelah dan tanya yang tak pernah terucap.

Adat boleh di hormati, budaya harus di lestarikan, tapi pertanyaan tentang siapa yang membayar dan bagaimana mereka di perlakukan, tidak bisa terus di hindari.

Exit mobile version