Pesona Wisata Situ Gede Tasikmalaya yang Mulai Memudar

Pesona Wisata  – Situ Gede, danau alami yang dulunya menjadi primadona wisata di Tasikmalaya, kini seperti bunga layu yang kehilangan sinar matahari. Di masa lalu, tempat ini mampu menyihir siapa saja yang datang dengan pemandangan air tenang, pepohonan rindang, dan udara segar yang menampar wajah dengan kelembutan. Tapi sekarang? Situ Gede mulai kehilangan tajinya. Bukan karena alam tak lagi cantik, tapi karena manusia yang perlahan-lahan abai.

Dahulu, wisatawan datang bukan hanya dari Tasik, tapi juga dari luar kota. Anak-anak tertawa sambil bermain perahu, pasangan duduk menikmati senja, dan pedagang lokal menggantungkan harapannya pada arus pengunjung. Situ Gede adalah denyut nadi kehidupan. Tapi kini suasananya berubah: lebih sepi, lebih muram, dan jauh dari kata menggoda.

Baca juga : 6 Rekomendasi Wisata Budaya Bali yang Memesona

Fasilitas Mati Suri, Pengelolaan Asal Jadi

Jangan salahkan alam jika pesona Situ Gede meredup. Salahkan mata manusia yang tak lagi peduli. Fasilitas umum seperti toilet, tempat duduk, hingga jalur pejalan kaki yang dulu terawat, sekarang rusak tak terurus. Cat memudar, kayu lapuk, dan sampah plastik jadi pemandangan wajib yang menodai kecantikan danau. Apakah ini yang layak disebut tempat wisata?

Lebih miris lagi, pengelolaan tempat ini seperti berjalan tanpa arah. Tak ada inovasi, tak ada promosi, dan tak ada perbaikan nyata. Seolah-olah pemerintah hanya menjadikan Situ Gede sebagai formalitas wisata, bukan aset kebanggaan daerah. Padahal potensinya masih luar biasa jika di tangani dengan serius. Tapi sayangnya, keseriusan itu justru seperti mitos—banyak di bicarakan, tapi tak pernah benar-benar ada.

Lingkungan Terkikis, Alam Menjerit Diam-Diam

Alam tidak berteriak ketika disakiti, tapi ia menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Di Situ Gede, air yang dulunya jernih kini mulai berubah warna. Sampah terapung di beberapa sudut danau, seperti simbol ketidakpedulian manusia. Pohon-pohon rindang yang dulu memayungi pengunjung perlahan menipis, tergeser pembangunan liar dan aktivitas yang tidak terkendali.

Ekosistem di sekitar Situ Gede mulai menunjukkan gejala krisis. Burung-burung yang dulu ramai berkicau kini menghilang. Udang dan ikan yang dulu bisa di tangkap anak-anak untuk sekadar hiburan, sekarang jarang terlihat. Hutan kecil di sekitarnya menyempit, tergilas oleh kepentingan yang tak pernah benar-benar berpihak pada alam.

Wajah Wisata Lokal yang Kian Kusam

Ironis, ketika masyarakat lokal justru lebih memilih wisata buatan atau mall sebagai pelarian, di banding mendatangi keindahan yang mereka miliki sendiri. Situ Gede, yang dulu menjadi tempat kumpul keluarga, kini lebih sering sepi atau sekadar di sambangi oleh beberapa orang iseng. Anak muda lebih tertarik nongkrong di kafe instagenik daripada duduk di tepi danau yang mulai kehilangan aura.

Padahal, Situ Gede punya cerita. Ada legenda Prabu Siliwangi yang di percaya bertapa di tengah danau. Ada mitos ikan lele raksasa penjaga danau yang menjadi bumbu kisah rakyat. Tapi semua itu hanya tinggal cerita, tak lagi di jaga, tak lagi di tuturkan. Wisata lokal seperti kehilangan identitasnya—tergerus zaman, tapi tak di pertahankan oleh pewarisnya.

Harapan yang Nyaris Padam

Situ Gede tidak butuh keajaiban. Ia hanya butuh mata yang mau melihat, tangan yang mau merawat, dan pikiran yang sadar bahwa keindahan tidak akan bertahan jika tidak di jaga. Tapi realita hari ini menunjukkan hal yang menyedihkan: Situ Gede tidak sedang di tinggalkan oleh alam, tapi oleh manusianya sendiri.

Jika tak ada yang berani bersuara, jika tak ada tindakan nyata, maka kita sedang menyaksikan perlahan-lahan sebuah surga kecil di Tasikmalaya runtuh tanpa perlawanan. Situ Gede bukan hanya danau—ia adalah cermin kebudayaan dan kepedulian kita terhadap warisan lokal. Dan saat ini, cermin itu mulai retak.