Ribut-ribut Pengelolaan Wisata Pendakian Gunung Rinjani: Siapa Sebenarnya yang Diuntungkan?

Wisata Pendakian Gunung Rinjani – Gunung Rinjani, ikon wisata pendakian di Indonesia yang memikat jutaan jiwa setiap tahunnya, kini sedang berada di pusaran kontroversi sengit. Ribut-ribut pengelolaan wisata pendakian Gunung Rinjani tidak hanya soal tiket dan izin, tapi melibatkan berbagai kepentingan yang saling bertabrakan. Dari pengelola resmi hingga oknum tak bertanggung jawab, siapa sebenarnya yang menikmati “kue” wisata ini? Mari kita bedah dengan gamblang.

Kepadatan Pendaki yang Menggila, Tapi Pengelolaan Masih Amburadul

Bayangkan, setiap musim pendakian, jalur pendakian Rinjani dipadati ribuan orang yang ingin menaklukkan keindahan alamnya. Tapi, di balik pemandangan menawan itu, tersimpan kekacauan pengelolaan yang sulit diterima akal sehat. Tidak ada sistem yang benar-benar tertata rapi untuk mengatur jumlah pendaki. Akibatnya, jalur pendakian penuh sesak, sampah berserakan di mana-mana, dan fasilitas pendukung yang sudah tua dan kurang memadai.

Dinas Pariwisata dan pihak pengelola seolah kehilangan kendali. Regulasi yang ada kerap diabaikan, bahkan kadang tumpang tindih. Bagaimana mungkin wisata yang sudah terkenal internasional ini dikelola dengan cara yang nyaris kacau balau? Ini bukan hanya soal manajemen, ini soal bagaimana keseriusan pemerintah dan pengelola dalam menjaga kelestarian dan kenyamanan wisatawan.

Mafia Tiket dan Pungutan Liar: Masalah yang Tak Pernah Usai

Masalah pengelolaan pendakian Rinjani tidak berhenti pada tata kelola jalur dan fasilitas. Ada isu besar yang jauh lebih serius: mafia tiket dan pungutan liar yang merajalela. Banyak pendaki melaporkan bahwa mereka harus membayar lebih dari harga resmi atau bahkan membayar biaya tambahan kepada oknum yang tidak jelas identitasnya di pintu masuk.

Ini jelas merugikan pendaki dan mencederai citra pariwisata Lombok. Bukankah aturan yang sudah dibuat untuk memastikan semua berjalan adil? Nyatanya, oknum-oknum ini menguasai jalur dan membuat pendaki harus merogoh kocek lebih dalam tanpa ada transparansi. Dimana peran aparat dan pengelola yang harusnya mengawasi? Entah karena lemahnya pengawasan atau mungkin sengaja membiarkan, praktik ini terus terjadi dan makin memperkeruh suasana.

Baca juga: https://sidoharjo-jambon.id/

Pengelola Lokal vs Investor Besar: Perang Kepentingan yang Merugikan Alam

Konflik paling pelik muncul antara pengelola lokal yang ingin menjaga tradisi dan kelestarian dengan investor besar yang hanya fokus keuntungan semata. Investor ini datang dengan janji investasi besar, pengembangan fasilitas modern, dan promosi wisata yang masif. Namun, di balik itu, ada potensi besar kerusakan alam dan eksploitasi berlebihan yang mengancam ekosistem Rinjani.

Pengelola lokal sering kali terpinggirkan dan tidak punya suara dalam pengambilan keputusan. Mereka yang justru sudah lama menjaga Gunung Rinjani dengan cara tradisional, mulai dari menjaga jalur hingga menata kawasan wisata, merasa di abaikan. Perang kepentingan ini membuat pengelolaan wisata menjadi tidak fokus, kacau, dan rentan eksploitasi alam berlebihan yang bisa berujung pada bencana lingkungan.

Apa Artinya Semua Ini untuk Para Pendaki dan Alam?

Pendaki yang datang dengan harapan menikmati keindahan alam dan ketenangan justru di hadapkan pada kenyataan suram: jalur yang penuh sesak, fasilitas minim, dan sistem pengelolaan yang amburadul. Mereka sering kali menjadi korban dari permainan mafia tiket dan pungutan liar yang tidak jelas asal-usulnya.

Lebih parah lagi, alam yang seharusnya di jaga dengan penuh tanggung jawab mulai menampakkan tanda-tanda kerusakan. Sampah berserakan, ekosistem terganggu, dan daya tarik alam yang makin menurun.

Apakah ini harga yang pantas di bayar hanya demi “bisnis” wisata? Jika pengelolaan tidak segera di benahi secara serius dan profesional, bukan hanya pendaki yang di rugikan, tapi masa depan Gunung Rinjani sebagai salah satu warisan alam Indonesia juga dalam bahaya besar.


Jelas sudah, ribut-ribut pengelolaan wisata pendakian Gunung Rinjani bukan sekadar persoalan teknis. Ini soal siapa yang benar-benar menguasai dan merawat “surga” yang bernama Rinjani. Kalau terus di biarkan seperti ini, bisa di pastikan bukan alam yang menang, melainkan kepentingan sesaat yang akan membawa kehancuran. Jadi, kapan pengelola serius turun tangan dan bertanggung jawab? Atau Rinjani hanya akan jadi korban ambisi sesaat yang berlalu begitu saja?